Senin, 19 Juni 2017


Banjari salah satu kegiatan ekstrakurikuler di MI Bahrul Ulum Batan Krajan yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan siswa dengan bersholawat dalam bentuk seni.

Kegiatan ini banyak digemari para siswa karena mampu memberikan gairah dan semangat belajar siswa.

Selasa, 06 Juni 2017




Salah satu kegiatan ekstra kurikuler di MI Bahrul Ulum Pandan Krajan Kemlagi adalah Tilawatil Qur"an

Sebagian guru Al Qur’an mendapati kesulitan ketika mengajar. Hal ini membuat para pengajar Al Qur’an berkreasi mencari metode yang mudah dan menyenangkan sehingga membuat murid tidak merasa bosan.
Salah satu metode belajar Al Qur’an yang berhasil ditemukan adalah metode tilawati. Metode ini menekankan bagaimana mengajarkan Al Qur’an kepada murid dengan pendekatan seni. Optimalisasi otak kanan dalam belajar Al Qur’an akan lebih menyenangkan sehingga murid tidak merasa bosan saat belajar.

Metode tilawati adalah suatu metode mengajar membaca Al Qur’an sesuai dengan kaidah dan aturannya. Mereka para ahli atau praktisi pengajar Al Qur’an melakukan penelitian dari berbagai metode yang ada, khususnya di Indonesia dan akhirnya lahirlah metode tilawati ini.
Tilawati adalah salah satu dari sekian banyak metode mengajar Al Qur’an di dunia Islam. Penekanannya adalah, dengan metode ini semua murid mendapatkan waktu yang sama dalam kegiatan belajar-mengajar (KBM) nya. Jadi antara yang datang duluan dengan yang datang belakangan mendapatkan alokasi waktu sama karena menggunakan metode klasikal efektif.
Selain itu, metode tilawati juga sangat menekankan pengajaran dengan pendekatan seni dengan melagukan setiap marteri ajar. Seperti yang ada di dunia seni baca Qur’an ada gaya rosy, bayati, syika, nahawa dan lain-lain. Gaya-gaya seperti itu kita gunakan di setiap materi pelajaran.








Tujuan Dan Ruang Lingkup Aqidah Akhlaq Madrasah Ibtidaiyah - Sahabat infosekolah87 pejuananya madrasah Indonesia, Mata Pelajaran Akidah-Akhlak di Madrasah Ibtidaiyah merupakan salah satu mata pelajaran PAI yang mempelajari tentang rukun iman yang dikaitkan dengan pengenalan dan penghayatan terhadap al-asma’ al-husna, serta penciptaan suasana keteladanan dan pembiasaan dalam mengamalkan akhlak terpuji dan adab Islami melalui pemberian contoh-contoh perilaku dan cara mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Secara substansial mata pelajaran Akidah-Akhlak memiliki kontribusi dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mempraktikkan al-akhlak al-karimah dan adab Islami dalam kehidupan sehari-hari sebagai manifestasi dari keimanannya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta Qada dan Qadar.

Al-akhlak al-karimah ini sangat penting untuk dipraktikkan dan dibiasakan sejak dini oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam rangka mengantisipasi dampak negatif era globalisasi dan krisis multidimensional yang melanda bangsa dan Negara Indonesia.

Mata Pelajaran Akidah-Akhlak di Madrasah Ibtidaiyah bertujuan untuk membekali peserta didik agar dapat :
1.     Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang akidah Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.
2.     Mewujudkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan menghindari akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan individu maupun sosial, sebagai manifestasi dari ajaran dan nilai-nilai akidah Islam. 
Ruang lingkup mata pelajaran Akidah-Akhlak
Mata pelajaran Akidah-Akhlak di Madrasah Ibtidaiyah berisi pelajaran yang dapat mengarahkan kepada pencapaian kemampuan dasar peserta didik untuk dapat memahami rukun iman dengan sederhana serta pengamalan dan pembiasaan berakhlak Islami secara sederhana pula, untuk dapat dijadikan perilaku dalam kehidupan sehari-hari serta sebagai bekal untuk jenjang pendidikan berikutnya.
Ruang lingkup mata pelajaran Akidah-Akhlak di Madrasah Ibtidaiyah meliputi :
- Aspek Akidah (Keimanan), meliputi :
1.     Kalimat tayyibah sebagai materi pembiasaan, meliputi: Lw ilwha illallwh, basmalah, alpamdulillwh, subpwnallwh, Allwhu Akbar, ta’awwuz, mwsyw Allah, assalwmu‘alaikum, salawat, tarji’, lw paula walw quwwata illw billah, dan istigfwr.
2.     Al-Asmw’ al-ousnw sebagai materi pembiasaan, meliputi: al-Apad, al-Khwliq, ar-Rapmwn, ar-Raprm, as-Samr‘, ar-Razzwq, al-Mugnr, al-Hamrd, asy-Syakyr, al-Quddys, as-aamad, al-Muhaimin, al-‘Azrm, al-Karrm, al-Kabrr, al-Mwlik, al-Bwhin, al-Walr, al-Mujrb, al-Wahhwb, al-‘Alrm, az-jwhir, ar-Rasyrd, al-Hwdr, as-Salwm, al-Mu’min, al-Lahrf, al-Bwqr, al-Basrr, al-Mupyi, al-Mumrt, al-Qawr, al-Hakrm, al-Jabbwr, al-Musawwir, al-Qadrr, al-Gafyr, al-‘Afuww, as-aabyr, dan al-Halrm.
3.     Iman kepada Allah dengan pembuktian sederhana melalui kalimat hayyibah, al-Asmw’ al-ousnw dan pengenalan terhadap salat lima waktu sebagai manifestasi iman kepada Allah.
4.     Meyakini rukun iman (iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul dan Hari akhir serta Qada dan Qadar Allah)
- Aspek Akhlak, meliputi :
1.     Pembiasaan akhlak karimah (mahmudah) secara berurutan disajikan pada tiap semester dan jenjang kelas, yaitu: disiplin, hidup bersih, ramah, sopan-santun, syukur nikmat, hidup sederhana, rendah hati, jujur, rajin, percaya diri, kasih sayang, taat, rukun, tolong-menolong, hormat dan patuh, sidik, amanah, tablig, fatanah, tanggung jawab, adil, bijaksana, teguh pendirian, dermawan, optimis, qana’ah, dan tawakal.
2.     Mengindari akhlak tercela (mazmumah) secara berurutan disajikan pada tiap semester dan jenjang kelas, yaitu: hidup kotor, berbicara jorok/kasar, bohong, sombong, malas, durhaka, khianat, iri, dengki, membangkang, munafik, hasud, kikir, serakah, pesimis, putus asa, marah, fasik, dan murtad.
- Aspek adab Islami, meliputi :
1.     Adab terhadap diri sendiri, yaitu: adab mandi, tidur, buang air besar/kecil, berbicara, meludah, berpakaian, makan, minum, bersin, belajar, dan bermain.
2.     Adab terhadap Allah, yaitu: adab di masjid, mengaji, dan beribadah.
3.     Adab kepada sesama, yaitu: kepada orang tua, saudara, guru, dan teman
- Aspek kisah teladan, meliputi :
  • Kisah Nabi Ibrahim a.s. mencari Tuhan, Nabi Sulaiman a.s. dengan tentara semut, masa kecil Nabi Muhammad saw., masa remaja Nabi Muhammad saw., Nabi Ismail a.s., Kan’an, Tsa’labah, Masyitah, Abu Lahab, dan Qarun.
  • Materi kisah-kisah teladan ini disajikan sebagai penguat terhadap isi materi, yaitu akidah dan akhlak sehingga tidak ditampilkan dalam Standar Kompetensi, tetapi ditampilkan dalam Kompetensi Dasar dan indikator
Sumber : abdimadrasah.com

Demikianlah tulisan  tentang Tujuan dan Ruang Lingkup Mata Pelajaran Akidah-Akhlak Madrasah Ibtidaiyah, semoga ada manfaatnya.
SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM




Sejarah pendidikan Islam di Indonesia telah dimulai pada awal abad XX M hingga dewasa ini merupakan perjalanan yang cukup panjang. Dimana perkembangan cukup draktis terjadi pada masa orde lama dan terus berkembang pada masa orde baru.

Orde Lama
Setelah Indonesia merdeka, pendidikan agama telah mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha tersebut dimulai dengan memberikan bantuan sebagaimana anjuran oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tanggal 27 Desember 1945, disebutkan :

"Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang telah berurat dan berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaknya mendapatkan perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah"

Pendidikan Agama diatur secara khusus dalam UU No, 4 Tahun 1950 pada bab XII Pasal 20, yaitu :
  1. Di sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut atau tidak.
  2. Cara penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.
Perkembangan pendidikan Islam pada masa orde lama sangat terkait pula dengan peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri pada tanggal 3 Januari 1946. Departemen Agama sebagai suatu lembaga pada masa itu, secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Pendidikan Islam pada masa itu ditangani oleh suatu bagian khusus yang mengurus masalah pendidikan agama, yaitu Bagian Pendidikan Agama. Tugas dari bagian tersebut sesuai dengan salah satu nota Islamic education in Indonesia yang disusun oleh Bagian Pendidikan Departemen Agama pada tanggal 1 September 1956, yaitu : 1) memberi pengajaran agama di sekolah negeri dan partikulir, 2) memberi pengetahuan umum di madrasah, dan 3)mengadakan Pendidikan Guru Agama serta Pendidikan Hakim Islam Negeri.

Berdasarkan keterangan di atas, ada 2 hal yang penting berkaitan dengan pendidikan Islam pada masa orde lama, yaitu pengembangan dan pembinaan madrasah dan pendidikan Islam di sekolah umum.

a. Perkembangan dan Pembinaan Madrasah

Perkembangan madrasah tak lepas dari peran Departemen Agama sebagai lembaga yang secara politis telah mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh perhatian yang terus menerus dari kalangan pengambil kebijakan. Walau tak lepas dari usaha keras yang sudah dirintis oleh sejumlah tokoh agama seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy`ari dan Mahmud Yunus. Dengan perkembangan politis dan zaman, Departemen Agama secara bertahap terus menerus mengembangkan program-program peningkatan dan perluasan ases serta peningkatan mutu madrasah.

Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara formal pada tahun 1950. Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, pada pasal 10 menyatakan bahwa untuk mendapatkan pengakuan Departemen Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu secara teratur disamping pelajaran umum.


Dengan persyaratan tersebut, diadakan pendaftaran madrasah yang memenuhi syarat.

Jenjang pendidikan pada sistem madrasah pada masa itu terdiri dari tiga jenjang.

1) Pertama Madrasah Ibtidaiyah dengan lama pendidikan 6 tahun
2) Kedua Madrasah Tsanawiyah Pertama untuk 4 tahun
3) Ketiga Madrasah Tsanawiyah Atas untuk 4 Tahun.

Sedangkan kurikulum madrasah terdiri dari sepertiga pelajaran agama dan sisanya pelajaran umum. Rumusan kurikulum seperti itu bertujuan untuk merespon pendapat umum yang menyatakan bahwa madrasah tidak cukup hanya mengajarkan agama saja, tetapi juga harus mengajarkan pendidikan umum, kebijakan seperti itu untuk menjawab kesan tidak baik yang melekat kepada madrasah, yaitu pelajaran umum madrasah tidak akan mencapai tingkat yang sama bila dibandingkan dengan sekolah umum.

Perkembangan madrasah yang cukup penting pada masa Orde Lama adalah berdirinya madrasah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuan pendiriannya untuk mencetak tenaga-tenaga profesional yang siap mengembangkan madrasah sekaligus ahli keagamaan yang profesional. PGA pada dasarnya telah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Khususnya di wilayah Minangkabau, tetapi pendiriannya oleh Departemen Agama menjadi jaminan strategis bagi kelanjutan madrasah di Indonesia.

Sejarah perkembangan PGA dan PHIN bermula dari progam Departemen Agama yang secara tehnis ditangani oleh Bagian Pendidikan. Pada tahun 1950, bagian itu membuka dua lembaga pendidikan dan madrasah profesional keguruan:

(1) Sekolah Guru Agama Islam (SGAI)
SGAI terdiri dari dua jenjang:
(a) jenjang jangka panjang yang ditempuh selama 5 tahun dan diperuntukkan bagi siswa tamatan SR/MI, dan
(b) Jenjang jangka pendek yang ditempuh selama 2 tahun diperuntukkan bagi lulusan SMP/Madrasah Tsanawiyah.

(2) Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI)
SGHAI ditempuh selama 4 tahun diperuntukkan bagi lulusan SMP/Madrasah Tsanawiyah.
SGHAI memilki empat bagian:
Bagian "a" untuk mencetak guru kesusastraan
Bagian "b" untuk mencetak guru Ilmu Alam/Ilmu Pasti
Bagian "c" untuk mencetak guru agama
Bagian "d" untuk mencetak guru pendidikan agama.

Pada tahun 1951, terjadi perubahan nama terhadap kedua madrasah keguruan tersebut sesuai dengan Ketetapan Menteri Agama 15 Pebruari 1951. SGAI menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) dan SGHAI menjadi SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama). Pada tahun 1951 ini, PGA Negeri didirikan di Tanjung Pinang, Kotaraja, Padang, Banjarmasin, Jakarta, Tanjung Karang, Bandung dan Pamekasan. Jumlah PGA pada tahun ini sebanyak 25 dan tiga tahun kemudian, 1954, berjumlah 30. sedangkan SGHA pada tahun 1951 didirikan di Aceh, Bukit Tinggi dan Bandung.

Selanjutnya seiring dengan perubahan "Bagian Pendidikan" yang berkembang menjadi "Jawatan Pendidikan Agama" di Departemen Agama. Ketentuan-ketentuan tentang PGA dan SGHA diubah. PGA yang 5 tahun diubah menjadi 6 tahun, terdiri dari PGA Pertama 4 tahun dan PGA Atas 2 tahun. PGA jangka pendek dan SGHA dihapuskan. Sebagai pengganti SGHAI bagian "d" didirikan PHIN ( Pendidikan Hakim Islam Negeri) dengan waktu belajar 3 tahun dan diperuntukkan bagi lulusan PGA pertama.

b. Perkembangan Perguruan Tinggi Islam

Perguruan Tinggi Islam khusus terdiri dari fakultas-fakultas keagamaan mulai mendapat perhatian pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, fakultas agama UII dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah. Pada tanggal 26 September 1951 secara resmi dibuka perguruan tinggi baru dengan nama PTAIN ( Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) dibawah pengawasan Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini bertujuan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas di penerintahan ( Kementerian Agama) dan untuk pengajaran agama di sekolah. Pada tahun 1960 PTAIN dan ADIA disatukan menjadi IAIN.

c. Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum

Peraturan resmi pertama tentang pendidikan agama di sekolah umum, dicantumkan dalam Undang-Undang Pendidikan tahun 1950 No. 4 dan Undang-Undang Pendidikan tahun 1954 No. 20, (tahun 1950 hanya berlaku untuk Republik Indonesia Serikat di Yogyakarta).

Sebelumnya ada ketetapan bersama Departemen PKK dan Departemen Agama yang dikeluarkan pada 20 Januari Tahun 1951. Ketetapan itu menegaskan bahwa :
1. Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat selama 2 jam per minggu. Di lingkungan istimewa, pendidikan agama dapat di mulai dari kelas 1 dan jam pelajarannya boleh ditambah sesuai kebutuhan, tetapi catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV.
2. Di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
3. Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sebanyak 10 orang dalam 1 kelas dan mendapat izin dari orang tua dan walinya.
4. Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.

Undang-Undang Pendidikan tahun 1954 No. 20 berbunyi :
1. Pada sekolah-sekolah negeri diselenggarakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya mengikuti pelajaran tersebut atau tidak.
2. Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur melalui ketetapan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) bersama dengan Menteri Agama.

Penjelasan pasal ini antara lain menetapkan bahwa pengajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas para murid.

Pada periode orde Lama ini, berbagai peristiwa dialami oleh bangsa Indonesia dalam dunia pendiidkan, yaitu :
1. Dari tahun 1945-1950 landasan idiil pendidikan ialah UUD 1945 dan Falsafah Pancasila.
2. Pada permulaan tahun 1949 dengan terbentuknya negara Republik Serikat (RIS), di wilayah bagian Timur dianut suatu sistem pendidikan yang diwarisi dari zaman Belanda.
3. Pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan terbentuknya kembali negara kesatuan Republik Indonesia, landasan idiil pendidikan adalah UUDS RI.
4. Pada tahun 1959 Presiden mendekritkan Republik Indonesia kembali ke UUD 1945 dan menetapkan arah politik Republik Indonesia menjadi haluan negara.
5. Pada tahun 1945, sesudah G 30 S/PKI kita kembali lagi melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Pada tahun 1960, sidang MPRS menetapkan bahwa pendidikan agama diselenggarakan di perguruan tinggi umum dan memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk mengikuti ataupun tidak. Namun, pada tahun 1967 (periode awal Orde Baru), ketetapan itu diubah dengan mewajibkan mahasiswa mengikuti mata kuliah agama dan mata kuliah ini termasuk kedalam system penilaian.

d. Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren

Pondok Pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional, keberadaan pondok pesantren sebelum Indonesia merdeka diperhitungkan oleh bangsa-bangsa yang pernah menjajah Indonesia.

Pada masa kolonialisme dari Pondok Pesantren lahirlah tokoh-tokoh nasional yang tangguh yang menjadi pelopor pergerakan kemerdekaan Indonesia, seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Zaenal Mustopa dll. Maka dapat dikatakan bahwa masa itu Pondok Pesantren memberikan kontribusi yang besar bagi terbentunya republik ini. Bila dianalisis lebih jauh kenapa dari lembaga pendidikan yang sangat sederhana ini muncul tokoh-tokoh nasional yang mampu menggerakan rakyat untuk melawan penjajah, jawabannya karena figur Kiyai sebagai Pimpinan pondok pesantren sangat dihormati dan disegani, baik oleh komunitas pesantren (santri) maupun masyarakat sekitar pondok, mereka meyakini bahwa apa yang diucapkan kiyai adalah wahyu Tuhan yang mengandung nilai-nilai kebenaran hakiki ( Ilahiyyah).

Pada masa pasca kemerdekaan, Pondok Pesantren perkembangannya mengalami pasang surut dalam mengemban misinya sebagai pencetak generasi kaum muslimin yang mumpuni dalam bidang Agama (tafaqquh fiddien). Pada masa priode transisi antara tahun 1950 - 1965 Pondok Pesantren mengalami fase stagnasi, dimana Kyai yang disimbolkan sebagai figur yang ditokohkan oleh seluruh elemen masyarakat Islam, terjebak pada percaturan politik praktis, yang ditandai dengan bermunculannya partai politik bernuasa Islami peserta PEMILU pertama tahun 1955, contohnya dengan lahirnya Partai Politik NU yang mewaliki warga Nahdiyyin, Partai Politik NU tersebut dapat dikatakan merepresentasikan dunia Pondok Pesantren. Hal ini dikarenakan sebagian besar pengurus dari parpol tersebut adalah Kiyai yang mempunyai Pondok Pesantren.

Orde Baru dan Sekarang

Sejak dibubarkan PKI dengan G30S/PKI pada tanggal 30 Oktober 1965, bangsa Indonesia telah memasuki masa "Orde Baru".

Perubahan yang terlihat pada Masa Orde Baru adalah :
1) sikap mental yang positif untuk menghentikan dan mengoreksi segala bentuk penyelewengan terhadap pancasila dan UUD 1945
2) memperjuangkan adanya masyarakat yang adil dan makmur, baik material dan spiritual melalui pembangunan nasional
3) sikap mental mengabdi kepada kepentingan rakyat dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Perkembangan pendidikan Islam selanjutnya pada masa orde baru dimulai dari kebijakan pada pasal 4 TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 yang memuat kebijakan tentang isi pendidikan. Untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan, maka isi pendidikan adalah :
1. Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama.
2. Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan
3. Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.

Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu pendidikan harus dimiliki oleh rakyat sesuai dengan kemampuan individu masing-masing.

Pada awal pemerintahan orde baru, pendekatan legal formal dijalankan tidak memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang sebelumnya dikelola oleh Menteri Agama secara murni.

Perkembangan pendidikan pada orde baru selanjutnya dikuatkan dengan UU No. 2 Tahun 1989 tentang pendidikan nasional. Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan ber budi pekerti luhur, memiliki ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Prinsip-prinsip yang perlu mendapat perhatian dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, adalah mengusahakan :
1. Membentuk manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya yang mampu mandiri.
2. Pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh, yang mengandung terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham dan idiologi yang bertentangan dengan Pancasila.

Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh dan terpadu. Semesta berarti terbuka bagi seluruh rakyat, dan berlaku di seluruh wilayah negara, dan menyeluruh dalam arti mencakup semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, serta terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.

Sebagaimana perkembangan orde lama, perkembangan pada orde baru juga dapat dibagi dalam :

a. Perkembangan dan Pembinaan Madrasah

Penegerian Madrasah Swasta

Pada tahun 1967 terbuka kesempatan untuk menegerikan madrasah swasta untuk semua tingkatan, Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Islam Negeri (MTsIN) dan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN). Namun ketentuan itu hanya berlangsung 3 tahun, dan dengan alasan pembiayaan dan fasilitas yang sangat terbatas, maka keluarnya Keputusan Menteri Agama No. 213 tahun 1970 tidak ada lagi penegerian bagi madrasah madrasah swasta. Namun kebijakan tersebut tidak berlangsung lama, memasuki tahun 2000 kebijakan penegerian dimunculkan kembali.

Kesejajaran Madrasah dan Sekolah Umum
Lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri No. 6 tahun 1975 dan No. 037/U/1975 antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri, tentang Peningkatan Mutu Pendidiikan pada Madrasah. SKB ini muncul dilatar belakangi bahwa setiap waganegara Indonesia berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pengajaran yang sama, sehingga lulusan madrasah yang ingin melanjutkan, diperkenankan melanjutkan ke sekolah-sekolah umum yang setingkat di atasnya. Dan bagi siswa madrasah yang ingin pindah sekolah dapat pindah ke sekolah umum setingkat. Ketentuan ini berlaku mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke tingkat perguruan tinggi.

Dalam SKB tersebut disebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kuranya 30 % disamping mata pelajaran umum, meliputi Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah setingkat SMP dan Madrasah Aliyah setingkat SMA.
SKB ini juga menetapkan hal-hal yang menguatkan posisi madrasah pada lingkungan pendidikan, diantaranya :
1. Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat
2. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih diatasnya
3. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat
4. Pengelolaan madrasah dan pembinaan mata pelajaran agama dilakukan Menteri Agama, sedangkan pembinaan dan pengawasan mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bersama-sama Menteri Agama serta Menteri Dalam Negeri.

Lahirnya Kurikulum 1984
Pada tahun 1984 dikeluarkan SKB 2 Menteri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. Lahirnya SKB tersebut dijiwai oleh Ketetapan MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya Penyesuaian Sistem Pendidikan, sejalan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang, antara lain dengan melakukan perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara pelbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah.
Sehingga sebagai tindak lanjut SKB 2 Menteri tersebut lahirlah "Kurikulum 1984" untuk madrasah, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama No. 99 tahun 1984 untuk Madrasah Ibtidaiyah, No. 100/1984 untuk Madrasah Tsanawiyah dan No. 101 Tahun 1984 untuk Madrasah Aliyah.

Diantara rumusan kurikulum 1984 adalah memuat hal-hal strategies, diantaranya :
1. Program kegiatan kurikulum madrasah (MI, MTs, dan MA) tahun 1984 dilakukan melalui kegiatan intra kurikuler dan ekstra kurikuler baik dalam program inti maupun program pilihan.
2. Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan memperhatikan keserasian antara cara seseorang belajar dan apa yang dipelajarinya.
3. Penilaian dilakukan secara berkesinambungan dan menyeluruh untuk keperluan peningkatan proses dan hasil belajar serta pengelolaan program.

Lahirnya MAPK
Dengan dilatarbelakangi akan kebutuhan tenaga ahli di bidang agama Islam ("ulama") dimasa mendatang sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional, maka dilakukan usaha peningkatan mutu pendidikan pada Madrasah Aliyah. Lebih lanjut dibentuklah Madrasah Aliyah Pilihan Ilmu-Ilmu Agama (MAPK) dengan berdasarkan persyaratan-persyaratan yang ditentukan. Kekhususan MAPK ini adalah komposisi kurikulum 65 studi agama dan 35 pendidikan dasar umum. Sasarannya adalah penyiapan lulusan yang mampu menguasai ilmu-ilmu agama yang nantinya menjadi dasar lulusan untuk terus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi bidang keagamaan dan akhirnya menjadi calon ulama yang baik. Selanjutnya MAPK berganti nama menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Namun lebih lanjut program ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah sehingga nasibnya sampai hari ini belum jelas keberadaannya.

Lahirnya UU No, 2 Tahun 1989
Lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang diundangkan dan berlaku sejak tanggal 27 Maret 1989, memberikan perbedaan yang sangat mendasar bagi pendidikan agama. Pendidikan agama tidak lagi diberlakukan berbeda untuk negeri dan swasta, dan sebagai konsekuensinya diberlakukan Peraturan Pemerintah sebagai bentuk operasional undang-undang tersebut, yaitu PP 27/1990 tentang Pendidikan Pra Sekolah, PP 28/1990 tentang Pendidikan Dasar, PP. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, PP. No. 30/1990 tentang Pedidikan Tinggi (disempurkankan dengan PP.22/1999). Semua itu mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga umum.

UU dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi dampak positif bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sejak diberlakukan UU No. 2 Tahun 1989 tesebut lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi bagian integral (sub-sistem) dari sistem pendidikan nasional. Sehingga dengan demikian, kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan nasional secara keseluruhan.

UU ini juga telah memuat ketentuan tentang hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, SD, SLTP, SMU, SMK dan SLB yang berciri khas berdasarkan agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang menjadi ciri khasnya. Inilah poin pendidikan yang kelak menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah kalangan, dimana para siswa dikhawatirkan akan pindah agama (berdasarkan agama Yayasan/Sekolah), karena mengalami pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Kritik itu semakin kencang, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah menengah dengan warna agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya.
UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan pemerintah tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan ruang dialog keagamaan di kalangan siswa. Ia juga memberikan peran tidak langsung kepada sekolah untuk mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan agama.

Lahirnya Kurikulum 1994
Pada tahun 1994, kebijakan kurikulum pendidikan agama juga ditempatkan di seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang pendidikan SD, terdapat 9 mata pelajaran, termasuk pendidikan agama. Di SMP struktur kurikulumnya juga sama, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pendidikan umum. Demikian halnya di tingkatan SMU, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pengajaran umum bersama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum. Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Matematika, IPA (Fisika, Biologi, Kimia), IPS (Ekonomi, Sosiologi, Geografi) dan Pendidikan Seni.
Dari sudut pendidikan agama, Kurikulum 1994, hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi jumlah jam pelajaran dan karakter pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sampai tahun 1998, pendidikan di Indonesia, masih menggunakan UU Pendidikan tahun 1989, dan kuriklum 1994. Tumbangnya rezim orde baru menggulirkan gagasan reformasi sekitar tahun 1998, yang salah satu agendanya adalah perubahan dan pembaruan dalam bidang pendidikan, sebagaimana yang menjadi tema kritik para pemerhati pendidikan dan diharapkan oleh banyak pihak.

Lahirnya UU No, 20 Tahun 2003
Selanjutnya pada tahun 2003 ditetapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya disebut dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini pasal yang diperdebatkan adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik. "Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama," (Pasal 12 ayat a).
Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa pendidik atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat 3.
UU ini juga sekaligus "mengubur" bagian dari UU No. 2/1989 dan Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, tentang tidak wajibnya sekolah dengan latarbelakang agama tertentu (misalnya Islam) mengajarkan pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya pelajaran agama Katolik untuk siswa yang beragama Katolik).
UU Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/Yayasan Islam untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk siswa yang menganut agama Katolik.
UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 ini lah yang menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa `kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal.`
Dalam penjelasan atas pasal 37 ayat 1 ini ditegaskan, `pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia`. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum, juga diatur dalam undang-undang baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum dan komponen pendidikan lainnya.
Ketua Majelis Pertimbangan dan Pemberdayaan Pendidikan Agama dan Keagamaan, (MP3A) Departemen Agama menambahkan, pelaksanaan pendidikan agama harus memperhatikan lima prinsip dasar, di antaranya: Pertama, pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada kurikulum pendidikan agama yang berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik. Kedua, pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan dan rasa hormat internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. Ketiga, pendidikan agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara.

Lahirnya KBK
Perjalanan kebijakan pendidikan Indonesia belum berakhir, pada tahun 2004 pemerintah menetapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kehadiran Kurikulum berbasis kompetensi pada mulanya menumbuhkan harapan akan memberi keuntungan bagi peserta didik karena dianggap sebagai penyempurnaan dari metode Cara belajar siswa Aktif (CBSA). Namun dari sisi mental maupun kapasistas guru tampaknya sangat berat untuk memenuhi tuntutan ini. Pemerintah juga sangat kewalahan secara konseptual, ketika pemerintah bersikeras dengan pemberlakukan Ujian Nasional, sehingga KBK segera diganti dan disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP masih berlaku sampai sekarang.

Pembinaan dan Pengembangan pendidikan madrasah dalam rangka peningkatan akses dan mutunya, pada saat ini dikoordinasikan oleh Direktorat Pendidikan Madrasah pada Ditjen Pendidikan Islam.

b. Pendidikan Agama Islam

PAI pada awal kemerdekaan
Undang-undang pendidikan dari zaman dahulu sampai sekarang tampaknya masih terdapat dikotomi pendidikan. Dimana bila dicermati bahwa undang-undang pendidikan nasional masih membeda-bedakan antara pendidikan umum dan agama, padahal bila digabungkan antara ilmu agama dan ilmu umum justru akan menciptakan kebersamaan dan juga mampu menciptakan kehidupan yang harmonis, serasi dan seimbang.

Prioritas pendidikan Islam harus diarahkan pada empat hal, sebagai berikut :
1. Pendidikan Islam bukanlah hanya untuk mewariskan faham atau polah keagamaan hasil internalisasi generasi terhadap anak didik.
2. Pendidikan hendaknya menghindari kebiasaan mengunakan andai-andaian model yang diidealisir yang sering kali membuat kita terjebak dalam romantisme yang berlebihan.
3. Bahan-bahan pengajaran agama hendaknya selalu dapat mengintegrasikan problematik empirik disekitarnya.
4. Perlunya dikembangkan wawasan emansipatoris dalam proses mengajar agama.

Dilihat dari legalitas hukum penyelenggaraan PAI pada sekolah umum, mengalami proses yang panjang yaitu sejak masa pasca kemerdekaan hingga ditetapkan undang-undang no. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam proses mendapatkan legalitas hukum atas pelaksanaan pendidikan agama sejak kurun kemerdekaan, terjadi tarik menarik antara kelompok yang pro karena menganggap PAI penting diberikan di Sekolah/Perguruan Tinggi, dan mereka yang kontra karena mengganggp tidak penting dan cukup diganti dengan pendidikan budi pekerti.

Semenjak awal kemerdekaan sampai masa orde baru, pelaksanaan PAI di sekolah selalu masuk dalam agenda pembahasan atau atas dasar kemauan politik tokoh-tokoh nasional. Hal ini dikarenakan, setiap keputusan tentang pelaksanaan PAI pada dasarnya merupakan keputusan politik. Hasil penelusuran dokumen-dokumen penting yang berhubungan dengan pelaksanaan agama di sekolah umum dari masa pasca kemerdekaan hingga tahun 1990, yaitu :
a. Rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) taggal 27 Desember 1945 antara lain merekomensasikan agar pendidikan agama mendapat tempat pada kurikulum, yang harus diatur secara seksama dan mendapat perhatian semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan.
b. Perguruan Agama Islam atau Madrasah dan Ponpes mendapat perhatian dan bantuan yang nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.

PAI sejak UU No. 2 Tahun 1989 sampai lahirnya kurikulum 1994
Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum pada dasarnya telah mendapat respon yang positif, dengan dikeluarkannya Undang-undang No.2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional (UUSPN), dimana didalamnya diperkenalkan dua Istilah, yaitu Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Pendidikan Agama adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah umum, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Pendidikan Keagamaan adalah lembaga pendidikan Islam atau satuan pendidikan Islam yang lazim dinamakan dengan perguruan agama. Pendidikan Keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.

Pemerintah menaruh perhatian yang cukup besar terhadap pelaksanaan pendidikan Agama, sejak jaman pasca Orde Baru.

Karakteristik kurikulum PAI Tahun 1994 antara lain:
a. Materi atau bahan kajian yang masing-masinng sesuai dengan tingkat atau jenjang satuan pendidikan
b. Pilihan bahan kajian untuk semua jenjang pendidikan yang essensial dan sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa
c. Aspek-aspek pemahaman keagamaan kilafh dihilangkan
d. Materi atau bahan untuk mengembangkan aspek kognitif, afektif, psikomotorik
e. Pokok bahasan atau kajian PAI diorientasikan untuk berpadu dengan bidang studi yang lain.

PAI sejak UU No. 20 Tahun 2003
Dengan lahirnya UU No, 20 Tahun 2003 semakin mempertegas kedudukan pendidikan agama Islam sebagai salah satu elemen terciptanya tujuan pendidikan nasional secara umum. Sebagaimana pada Pasal 3, Pendidikan Nasional mencerdasakan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi pesersta didik agar menjadi manusian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pasal 12 ayat 1a, setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya.

Maka dalam hal ini, Ditjen Pendidikan Islam berpeluang besar untuk mengembangkan kapasitas kelembagaannya dengan meningkatkan kualitas sistem dan layanan pendidikan agama Islam dalam rangka kensukseskan tujuan pendidikan nasional.

Perkembangan pendidikan agama Islam makin jelas dengan berlakukanya PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang menyebutkan :
1. Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas : (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, (2) kelompok mata pelajaran kewarganegeraan dan kepribadian, (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, (4) kelompok mata pelajaran estetika, dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
2. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan.atau kegiatan agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan.

Dukungan pemerintah lebih terencana lagi dalam pengembangan pendidikan agama Islam, terlihat pada Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2004, tetang Rencana Pembangunan Jangka Menengah pada bidang Peningkatan Kualitas Kehidupan Beragama, dan berlangsung sampai sekarang Dalam arah kebijakannya dinyatakan bahwa sesuai dengan agenda pembangunan nasional, disebutkan bahwa, peningkatan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Serta peningkatan kualitas tenaga kependidikan agama dan keagamaan.


Agar pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah umum lebih terarah maka sejak tahun 1978 berdirilah Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum, lebih lanjut karena respon pemerintah dan dunia pendidikan khususnya terhadap pendidikan agama Islam berkurang, direktorat ini sempat menghilang di tahun 2001 dengan menggabung dengan Direktorat Pembinaan Perguruan Agama islam (Ditbinruais), menjadi Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum. Namun ternyata penggabungan ini tidak juga mengangkat pendidikan agama Islam pada sekolah umum ke arah yang lebih baik, bahkan lebih terpuruk dan terasa dikesampingkan. Oleh karena itu di tahun 2005 dibentuk direktorat baru yang bersifat khusus kembali yaitu Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah, dan akhirnya disempurnakan menjadi Direktorat Pendidikan Agama Islam sampai sekarang berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010. Saat ini perkembangan program/kegiatan bagi pendidikan Agama Islam sudah makin membaik dan terrencana.

c. Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren

Perkembangan pendidikan Pondok Pesantren pada periode Orde Baru, seakan tenggelam eksistensinya karena seiring dengan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada kepentingan ummat Islam.

Setitik harapan timbul untuk nasib umat Islam setelah terjadinya era reformasi, pondok pesantren mulai berbenah diri lagi dan mendapatkan tempat lagi dikalangan pergaulan nasional. Salah satunya adalah pendidikan Pondok Pesantren diakui oleh pemerintah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pondok pesantren tidak lagi dipandang sebagai lembaga pendidikan tradisional yang illegal, namun pesantren diakui oleh pemerintah sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai kesetaraan dalam hak dan kewajibannya dengan lembaga pendidikan formal lainnya.

Peluang tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh Pondok Pesantren, agar dapat meningkatkan kembali peranannya dalam sistem pendidikan nasional. Namun yang terjadi peluang tersebut belum memberikan respon positif kearah peningkatan kualitas pendidikannya, salah satunya dapat diidentifikasikan bahwa hanya segelintir kecil saja masyarakat yang ingin menitipkan anaknya untuk dididik dilembaga pendidikan pondok pesantren, dibanding ke sekolah-sekolah umum. Ketimpangannya cukup besar, mungkin hanya 10% nya saja anak-anak Indonesia yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren dan selebihnya mereka mengenyam pendidikan disekolah-sekolah umum.

Pembinaan Pondok Pesantren sebelum tahun 2000 dilakukan oleh salah satu Subdit di lingkungan Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam, yaitu Subdit Pondok Pesantren sesuai dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1979.
Akhirnya dengan makin pesatnya perkembangan lembaga pondok pesantren dan pendidikan diniyah serta makin berkembangnya program dan kegiatan pembinaan bagi Pondok Pesantren dan Pendidikan Diniyah, subdit tersebut berkembang menjadu direktorat yang bernama Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, sebagai satu dari empat direktorat yang pada Ditjen Kelembagaan Agama Islam sesuai Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001. Dengan berubahnya organisasi pembinaan menjadi direktorat tersebut, maka pendidikan di pondok pesantren dan pendidikan diniyah terus makin berkembang dengan pesat, dan mulai diakui dikalangan dunia pendidikan.

Pada akhirnya seiring dengan berkembangnya pembinaan dan pengorganisasian Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam yang berubah menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren berubah pula menjadi Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren. Perubahan itu berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 2006 sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005.

d. Perguruan Tinggi Agama Islam

IAIN sebagai salah satu bagian dari PTAI, merupakan bagian dari salah satu sistem pendidikan Islam yang ada di Indonesia. IAIN di dirikan pada awal tahun 1960 sebagai suatu respon atas kebutuhan pemerintah akan tenaga pendidik yang ahli di bidang ilmu-ilmu keislaman, untuk mengembangkan sistem pendidikan madrasah. Akhirnya dalam perkembangan nya IAIN jumlahnya semakin bertambah dan berkembang.

Perkembangannya sejak masa orde baru bukan saja pada aspek fisiknya tetapi juga pada aspek tenaga pendidik atau dosennya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Sejalan dengan kebutuhan masyarakat Islam akan Ilmu dan pengetahuan serta teknologi peran perguruan tinggi agama Islam semakin bertambah, oleh karenan itu beberapa tahun ini beberapa IAIN telah berkembang menjadi universitas Islam. Dimana dalam pelayanannya, selain memberi pendidikan bidang studi keagamaan juga memberikan pelayanan pendidikan umum.
Saat ini Perguruan Tinggi Agama Islam telah tersedia 15 IAIN, 6 UIN dan 31 STAIN.

Untuk melakukan Koordinasi Pembinaan dan Peningkatan Mutu Pendidikan pada Perguruan Agama Islam secara struktural sekarang ditangani oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam.



SEJARAH ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM

1. Sejak Departemen Agama berdiri tanggal 3 Januari 1946, pendidikan Islam pada masa orde lama yaitu pengembangan dan pembinaan madrasah dan pendidikan Islam di sekolah umum ditangani oleh suatu bagia khusus yang mengurus masalah pendidikan agama yaitu Bagian Pendidikan Agama, yang bertugas :
a. Memberi pengajaran agama di sekolah negeri dan partikulir
b. Memberi pengetahuan umum di madrasah
c. Mengadakan Pendidikan Guru Agama serta Pendidikan Hakim Islam Negeri.

2. Tahun 1950 selanjutnya "Bagian Pendidikan" yang berkembang menjadi "Jawatan Pendidikan Agama" di Departemen Agama, dengan fokus pekerjaan tetap pada 3 aspek, yaitu memberi pengajaran pada sekolah negeri, memberi pengetahuian umum di madrasah dan mengadakan pendidikan guru agama serta pendidikan hakim Islam negeri.

3. Selanjutnya Jawatan Pendidikan Agama berkembang lebih lanjut dan akhirnya menjadi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam pada tahun 1968

4. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974 tentang Susunan Organisasi Departemen, yang selanjutnya dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama No. 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, terjadi perubahan susunan organisasi kelembagaan di lingkungan Departemen Agama.

5. Kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1979 tentang Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama Sebagai Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1978. Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam terdiri dari :
- Sekretariat Direktorat Jenderal
- Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum Negeri
- Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam
- Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam
- Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam.

6. Sesuai Keputusan Presiden RI No. 165 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen jo Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama.
Ditjen Kelembagaan Agama Islam terdiri dari :
- Sekretariat Direktorat Jenderal
- Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum
- Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren
- Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam
- Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid.

7. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005, mengubah Direktrorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.
Dan sebagai tindak lanjutnya ditetapkanlah Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dibagi menjadi 5 Direktorat, yaitu :
- Sekretaris Direktorat Jenderal
- Direktorat Pendidikan Madrasah
- Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
- Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
- Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah
- dan Kelompok Jabatan Fungsional.

8. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, dan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dam Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organiasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara. Sebagai tindak lanjutnya ditetapkanlah Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementeri Agama.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dibagi menjadi 5 Direktorat, yaitu :
- Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
- Direktorat Pendidikan Madrasah
- Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
- Direktorat Pendidikan Agama Islam
- Direktorat Pendidikan Tinggi Islam


PENDIDIKAN Islam adalah sebuah sarana atau pun furshoh untuk menyiapkan masyarakat muslim yang benar-benar mengerti tentang Islam. Di sini para pendidik muslim mempunyai satu kewajiban dan tanggung jawab untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya kepada anak didiknya, baik melalui pendidikan formal maunpun non formal.
Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan yang lain. Pendidikan Islam lebih mengedepankan nilai-nilai keislaman dan tertuju pada terbentuknya manusia yang berakhlakul karimah serta taat dan tunduk kepada Allah semata. Sedangkan pendidikan selain Islam, tidak terlalu memprioritaskan pada unsur-unsur dan nilai-nilai keislaman, yang menjadi prioritas hanyalah pemenuhan kebutuhan indrawi semata.
Indonesia adalah sebuah negara besar yang memiliki penduduk ratusan juta jiwa. Indonesia juga adalah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Menurut sebuah perhitungan manusia Muslim Indonesia adalah jumlah pemeluk agam Islam terbesar di dunia. Jika dibanding dengan negara-negara Muslim lainnya, maka penduduk Muslim Indonesia dari segi jumlah tidak ada yang menandingi. Jumlah yang besar tersebut sebenarnya merupakan sumber daya manusia dan kekuatan yang sangat besar, bila mampu dioptimalkan peran dan kualitasnya. Jumah yang sangat besar tersebut juga mampu menjadi kekuatan sumber ekonomi yang luar biasa. Jumlah yang besar di atas juga akan menjadi kekuatan politik yang cukup signifikan dalam percaturan nasional.
Namun realitas membuktikan lain. Jumlah manusia Muslim yang besar tersebut ternyata tidak mamiliki kekuatan sebagaimana seharusnya yang dimiliki. Jumlah yang sangat besar di atas belum didukung oleh kualitas dan kekompakan serta loyalitas manusia Muslim terhadap sesama, agama, dan para fakir miskin yang sebagian besar (untuk tidak mengatakan semuanya) adalah kaum Muslimin juga. Kualitas manusia Muslim belum teroptimalkan secara individual apalagi secara massal. Kualitas manusia Muslim Indonesia masih berada di tingkat menengah ke bawah. Memang ada satu atau dua orang yang menonjol, hanya saja kemenonjolan tersebut tidak mampu menjadi lokomotif bagi rangkaian gerbong manusia Muslim lainnya. Apalagi bila berbicara tentang kekompakan dan loyalitas terhadap agama, sesama, dan kaum fakir miskin papa. Sebagian besar dari manusia Muslim yang ada masih berkutat untuk memperkaya diri, kelompok, dan pengurus partainya sendiri. Masih sangat sedikit manusia Muslim Indonesia yang berani secara praktis-bukan hanya orasi belaka-memberikan bantuan dan pemberdayaan secara tulus ikhlas kepada sesama umat Islam, khususnya para kaum fakir miskin papa.
Paradoksal fenomena di atas, yakni jumlah manusia Muslim Indonesia yang sangat besar akan tetapi tidak memiliki kekuatan ideologi, kekuatan politik, kekuatan ekonomi, kekuatan budaya, dan kekuatan gerakan adalah secara tidak langsung merupakan dari hasil pola pendidikan Islam selama ini. Pola dan model pendidikan Islam yang dikembangkan selama ini masih berkutat pada pemberian materi yang tidak aplikatif dan praktis. Bahkan sebagian besar model dan proses pendidikannya terkesan “asal-asalan” atau tidak professional. Selain itu, pendidikan Islam di Indonesia negara tercinta mulai tereduksi oleh nilai-nilai negatif gerakan dan proyek modernisasi yang kadang-kadang atau secara nyata bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran secara global tentang pendidikan Islam Indonesia saat ini sebagai landasan awal untuk meneropong moralitas bangsa di masa depan. Moralitas masa depan bangsa menjadi sangat penting untuk diteropong, karena didasarkan pada asumsi awal sebagian pakar yang berpendapat bahwa salah satu factor penyebab atau “biang keladi” terjadi dan berlangsungnya krisis multidimensional negara Indonesia adalah masalah moralitas bangsa yang sangat “amburadul” dan tidak “karu-karuan”.
Kalau kita kembali kepada sejarah pendidikan Islam di Indonesia, maka kita akan temukan bahwa pada awal munculnya pendidikan Islam tidak terlepas dari peran para pembawa Islam ke Indonesia sendiri. Jadi sebelum pendidikan Islam ada, terlebih dahulu Indonesia dimasuki oleh para penyebar Islam, walaupun menurut kajian sejarah bahwa para ahli berbeda pendapat tentang waktu dan pembawanya masuknya Islam ke Indonesia. Ada yang mengatakan pada abad ke-7 seperti yang dikatakan HAMKA dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia (1963). Ada lagi yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13. Teori ini dicetuskan oleh seorang orintalis Snouck Hurgronje, yang belajar agama puluhan tahun di mekkah dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Terlepas dari perbedaan tersebut, pendidikan Islam di Indonesia telah ada semenjak Islam masuk ke Indonesia. Yaitu, melalui dakwah mereka dalam menyebarkan Islam, walaupun bentuknya tidak formal seperti sekolah-sekolah yang ada sekarang. Seperti, sambil berdagang mereka mendakwahkan Islam. Seiring perjalanan sejarah, pendidikan Islam semakin tahun semakin mengalami perkembangan. Apalagi setelah muncul dua organisasi besar Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’ (NU). Kedua organisasi ini bergerak dalam bidang dakwah melalui pendidikan, ada yang dengan sistem klasik dan ada yang modern.
Misalnya, Muhammadiyah pada awal berdirinya 18 November 1912 M mendirikan madrasah pertamanya yaitu Al-Qism Al-Arqo’. Madrasah ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah sendiri, dan sekarang berubah nama menjadi PP. Muallimin Muallimat Jogjakarta. Pendidikan semacam ini didirikan oleh Muhammadiyah untuk mengimbangi pendidikan kolonial Belanda yang cenderung jauh dari nilai-nilai keislaman, bahkan cenderung meracuni bangsa.
Sedangkan NU yang didirikan tanggal 31 Januari 1926 M, walaupun menurut sejarah pernah masuk dan menjadi partai politik dan menjadi kontenstan dalam pemilu 1955 dan 1971, organisasi ini tetap menaruh perhatian besar terhadap pendidikan Islam. Memang NU tidak bergerak melalui madrasah-madrasah atau sekolah umum seperti Muhammadiyah, akan tetapi mayoritas pendidikan Islam di NU banyak berkembang di dalam pesantren yang di gunakan sebagai tempat pengkaderan.
Walaupun jalan yang ditempuh oleh kedua organisasi ini dalam mengembangkan pendidikan Islam berbeda, akan tetapi tetap tujuan utamanya sama, yaitu sama-sama ingin menjadikan Islam tetap berkembang di Indonesia melalui cara-cara yang menurut masing-masing biasa dilakukan. Sekarang kita melihat kondisi pendidikan Islam di era modern ini, apakah metode atau jalan yang ditempuh oleh Muhammadiyah dan NU, yang dulunya berbeda tersebut sekarang bisa mengarah pada persatuan. Dan menimbulkan kesadaran pada masing-masing?.
Kita lihat sekarang Muhammadiyah yang pada mulanya tidak terlalu berkecimpung dalam dunia pesantren dalam mengembangkan pendidikan Islam, akan tetapi sekarang sudah mulai memperhatikannya bahkan sudah banyak pesantren-pesantren yang didirikan Muahammadiyah. Kesadaran ini muncul setelah nampak di tengah-tengah Muhammadiyah apa yang dinamakan dengan “krisis ulama’. Relevan dengan ini ialah pendapat Karim yang dikutip oleh Khozin M.Si (2006) dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam “efektivitas pendidikan dan pengajaran agama melalui pesantren juga telah disadari oleh Muhammadiyah yang sepanjang sejarahnya menaruh perhatian pada sistem pendidikan modern”.
Adapun NU yang pada mulanya banyak mencurahkan perhatiannya terhadap dunia pesantren dalam mengembangkan pendidikan Islam, sekarang sudah mulai sadar akan pentingnya dunia sekolah yang cenderung modern dan mengikuti perkembangan zaman. Apalagi di era yang teknologinya serba canggih, Realitas saat ini Keterpurukan dan keterbelakangan pendidikan nasional saat ini tentu mempunyai dampak yang signifikan terhadap pendidikan Islam. Walaupun pada dasarnya secara historis saat ini pendidikan Islam mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan yang signifikan juga dibanding dengan kondisi pendidikan Islam sebelumnya yang berlaku di Indonesia.
Apalagi setelah munculnya SKB 3 Mentri, yaitu Menteri Pendidikan, Menteri Agama dan Menteri Kebudayaan. Dengan ketentuan bahwa ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat, Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat begitupun sebaliknya.
Walaupun demikian, tidak dapat dinafikan bahwa masih banyak lembaga-lembaga Islam yang jauh tertinggal. Menurut Abd. Assegaf Pendidikan Islam di Indonesia saat ini bisa dibilang mengalami intellectual deadlock (kebuntuan intelektual).
Indikasinya adalah minimnya upaya pembaharuan dalam pendidikan Islam, Praktik pendidikan Islam selama ini masih memelihara budaya lama yang tidak banyak melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan kritis terhadap isu-isu aktual, model pembelajaran yang masih menekankan pada pendekatan intelektualisme verbalistik dan mengenyampingkan urgensi interactive education and communication antara guru dan murid, orientasi pendidikan Islam lebih menitikberatkan pada pembentukan insan sebagai abdun (hamba) bukan pada fitrohnya sebagai kholifah di bumi.
Melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, Maka pendidikan Islam dituntut untuk bergerak dan mengadakan inovasi-inovasi dalam pendidikan. Mulai dari paradigma, sistem pendidikan dan metode yang digunakan. Ini dimaksudkan agar perkembangan pendidikan Islam tidak tersendat-sendat. Sebab kalau pendidikan Islam masih berpegang kepada tradisi lama yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK, maka pendidikan Islam akan buntu.
Menurut Rahmat Ismail (dalam Khozin, 2006) bahwa ada beberapa hal yang perlu dibangun dan diperbaiki kembali dalam pendidikan Islam supaya dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu:
Pertama : Rekontruksi paradigma, dengan mengganti paradigma yang lama dengan paradigma baru, bahwa konsep pendidikan yang benar harus selalu sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Rekontruksi ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi pendidikan Islam, yakni keluar dari belenggu dikotomi ilmu pengetahuan, keluar dari sistem pendidikan yang doktrinir dan otoriter, terlepas dari penyimpangan profesionalitas pendidik.
Kedua : Memperkuat landasan moral. Kita melihat pengaruh dari globalisasi yang telah menimpa Indonesia, moral barat dengan mudahnya masuk ke dalam negari ini dan dapat mempengaruhi masyarakat Indonesia, Maka sangat urgen sekali kalau moral para praktisi pendidikan Islam dibangun dan dibentuk dengan kokoh, supaya tidak terpengaruh dengan budaya barat tersebut.
Ketiga : Menguasai lebih dari dua bahasa.
Keempat : Menguasai komputer dan berbagai program dasarnya.
Kelima : Pengembangan kompetensi kepemimpinan.
Adapun menurut hemat penulis agar pendidikan Islam terus berkembang dan selalu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Maka perlu adanya integrasi antara pendidikan Islam Tradisional (pesantren) yang sepanjang sejarahnya dikembangkan oleh NU dan pendidikan Islam modern yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Pendidikan Pesantren diharapkan untuk tetap dapat menjaga originilitas ulama’. Sedangkan pendidikan Islam modern diharapkan dapat menyesuaikan dengan perkembangan IPTEK. Dalam kaedah usul dikatakan “al-muhafadhoh ‘alal qodimis soleh wal akhdu biljadidil ashlah (menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik)”
Selain itu juga perlu adanya rekontruksi metode atau model pembelajaran yang digunakan di dalam pendidikan Islam. Dalam hal ini pendidikan Islam dapat menggunakan metode pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning). Ini diharapkan dapat mengukuti tuntutan anak modern yang selalu kritis dan lebih berpikiran maju dari anak zaman dahulu yang cenderung manut dan tunduk terhadap apa yang disampaikan guru.
Pendidikan Islam ke depan harus lebih memprioritaskan kepada ilmu terapan yang sifatnya aplikatif, bukan saja dalam ilmu-ilmu agama akan tetapi juga dalam bidang teknologi. Sebab selama ini Pendidikan Islam terlalu terkonsentrasikan pada pendalaman dikotomi halal haram dan sah batal, namun terlalu mengabaikan kemajuan IPTEK yang menjadi sarana untuk mencapai kemajuan di era modern ini.
Bila dianalisis lebih jeli selama ini, khususnya sistem pendidikan Islam seakan-akan terkotak-kotak antara urusan duniawi dengan urusan ukhrowi. Ada pemisahan antara keduanya. Sehingga dari paradigma yang salah itu, menyebabkan umat Islam belum mau ikut andil atau berpasrtisipasi banyak dalam agenda-agenda yang tidak ada hubungannya dengan agama atau sains sebaliknya. Sebagai permisalan tentang sains, sering kali umat Islam Phobia dan merasa sains bukan urusan agama. Dalam hal ini ada pemisahan antara urusan agama yang berorientasi akhirat dengan sains yang dianggap hanya berorientasi dunia saja.
Sejarah telah mencatat, pada awal abad VIII umat Islam telah menorehkan tinta emas kemajuan iptek jauh sebelum terjadinya revolusi Industri yang diagung-agungkan bangsa Eropa. Kala itu, Ilmuwan-ilmuwan Islam dapat meletakkan dasar kemajuan iptek yang tentu saja atas dasar agama. Diantara ilmuwan seperti, Abu Bakr Muhammad bin Zakariya ar-Razi (Razes [864-930 M]) yang dikenal sebagai ‘dokter Muslim terbesar’, atau pakar kedokteran Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibn Sina (Avicenna [981-1037 M]) yang hasil pemikirannya The Canon of Medicine (Al-Qanun fi At Tibb) menjadi rujukan utama ilmu kedokteran di eropa. Al Kawarijmi Jabir Ibnu Hayyan yang meninggal tahun 803 M disebut-sebut sebagai Bapak Kimia. Algoritma yang kita kenal dalam pelajaran matematik itu berasal dari nama seorang ahli matematik Muslim bernama Muhammad bin Musa Al-Khwarizmi (770-840M)
Ilmuwan muslim telah diakui menjadi “jembatan” yang menghubungkan Pra-revolusi dengan kemajuan eropa melalui revolusi industri yang sempat diklaim merubah dunia. Lantas apa yang menyebabkan Islam dapat bersinar kala itu?. Alasannya adalah peran Islam dalam mengembangkan iptek sangatlah luar biasa. Selain ilmuwan-ilmuwan yang bekerja keras, ditambah pemerintahan yang mendukung dengan rela menyewa penerjemah-penerjemah untuk menenjemahkan warisan-warisan ilmuan kuno Yunani. Sehingga nampak bahwa Islam tidak hanya berorientasi pada agama, tetapi juga turut mengembangkan iptek yang sebelumnya dianggap berorientasi pada dunia.
Saat ini bangsa Eropa dan Amerika sedang berada pada posisi atas, mereka memegang peran yang signifikan dalam penguasaan seluruh tataran kehidupan di dunia. Hal ini sesuai dengan Sunatullah yang menyebutkan bahwa, akan ada pergiliran kekuasaan di antara manusia dan ini adalah sebuah kepastian. “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) …” Namun pergilirian ini terjadi, selain atas izin Allah, juga bergulir sesuai dengan sunatullah yang lain yaitu usaha keras bangsa Eropa dan Amerika dalam penguasaan berbagai macam disiplin ilmu. Salah satunya adalah sains.
Oleh karena itu, umat Islam harus mengusahakan agar roda itu terus berputar hingga suatu saat nanti giliran umat Islam berada pada posisi diatas dengan cara memadukan Islam dan sains melalui sistem pendidikan. Sehingga Umat Islam dapat menggenggam dunia dengan sistem yang lebih baik dari sekarang. Dan perlu dingat, bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, bila kaum itu yang merubah keadaannya sendiri.
Dan yang sampai sekarang bergolak dalam dada penulis, kapan Rifaiyah akan melakukan rekonstruksi untuk menuju dan ikut serta menorehkan tinta emas dalam percaturan sejarah nasional ?. Sekali lagi, sambil bergumam dalam hati sembari memejamkan mata membangun imajinasi yang rupawan tentang Rifaiyah, penulis mengajak semua intelektual Rifaiyah untuk bersatu dan bersama membangun warisan sang guru ini.
Wallohu A’lam
SEJARAH PERKEMBANGAN MADRASAH IBTIDAIYAH DI INDONESIA

A.       Pengertian Madrasah
Kata “Madrasah” berasal dari bahasa Arab sebagai keterangan tempat (dzaraf), dari akar kata : “Darasa, Yadrusu, Darsan, dan Madrasatan”. Yang mempunyai arti “Tempat belajar para pelajar” atau diartikan “jalan” (Thariq), misalnya : diartikan : “ini jalan kenikmatan”. Sedangkan kata “Midras” diartikan “buku yang dipelajari” atau “tempat belajar”.
Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran.

Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.[1]
B.       Asal-usul Madrasah di Indonesia
Di Indonesia, permulaan munculnya Madrasah baru sekitar abab 20, meski demikian latar belakang berdirinya madrasah tidak lepas dari dua faktor, yaitu semangat pembaharuan Islam yang berasal dari islam pusat(timur Tengah) dan merupakan respon pendidikan terhadap kebijakaan pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan serta mengembangkan sekolah.[2]
Sebelum adanya pendidikan berbasis agama islam, terlebih dahulu telah ada pendidikan kolonial yang dipelopori oleh Belanda. Sedangkan pada masa itu pendidikan islam hanya terbatas pendidikan pesantren yang mana metode pembelajaranya masih tradisional, sedangkan pendidikan kolonial jauh lebih maju baik dari segi isi, metode serta sistem pembelajaran.[3]
Madrasah adalah saksi perjuangan pendidikan yang tak kenal henti. Pada jaman penjajahan Belanda madrasah didirikan untuk semua warga.[4] Setelah itu, ada inisiatif yang dikenal di seluruh Indonesia dan memberikan hasil cukup lama, yaitu gerakan salaf di Minangkabau yang juga disebut dengan Modernis Padang, atau modernis kaum muda. Gerakan ini memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan pendidikan islam di Indonesia. Karena atas inisiatif Syekh Abdullah Ahmad, maka didirikanlah Madrasah Abadiyah di Padang (Sumatra Barat) tahun 1909. Madrasah ini merupakan madrasah pertama di Indonesia.[5]
C.       Perkembangan Madrasah di Indonesia
Dalam perkembangannya, sistem madrasah yang asalnya merupakan
penyempurnaan dari pendidikan Islam di surau, langgar, masjid, atau tempat
lain yang semacamnya 3, akhirnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu
(1) madrasah yang khusus memberi pendidikan dan pengajaran agama (Madrasah Diniyah), dan (2) madrasah yang di samping memberikan pendidikan dan pengajaran agama juga mempelajari pelajaran umum.[6]
Setelah adanya madrasah pertama di padang. Selanjutnya di tahun 1910 berdiri madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar,  kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah  Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah schoel, Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang (1907). lalu, Madrasah Nurul Uman didirikan H.  Abdul Somad di Jambi.[7]
Madrasah berkembang di Jawa mulai 1912. ada model madrasah pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Mualimin Wustha, dan Muallimin  Ulya ( mulai 1919), ada madrasah yang mengaprosiasi sistem pendidikan  belanda plus, seperti muhammadiyah ( 1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin, Mubalighin, dan Madrasah Diniyah. Ada juga model AL-Irsyad ( 1913) yang mendirikan Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus, atau model Madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian, itulah singkat tentang sejarah madrasah di Indonesia.[8]
Beberapa tingkatan sejarah perkembangan madrasah di Indonesia:
1.         Masa penjajahan
Madrasah pada masa Hindia Belanda mulai tumbuh meskipun memperoleh pengakuan yang setengah-setengah dari pemerintah Belanda. Tetapi pada umumnya madrasah- madrasah itu, baik di Minangkabau, Jawa dan Kalimantan, berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi dari pemerintah. Pada masa pemerintahan Jepang, mereka membiarkan dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa sebelumnya. Namun demikian, pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendidikan Jepang di Indonesia.
2.         Masa orde lama
Perkembangan Madrasah pada masa orde lama sejak awal kemerdekaan sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang resmi berdiri pada tanggal 13 Januari 1946, dalam perkembangan selanjutnya Departemen Agama menyeragamkan nama, jenis dan tingkatan madrasah sebagaimana yang ada sekarang.
Perkembangan madrasah yang cukup menonjol pada masa orde lama ialah: Didirikan dan dikembangkannya pendidikan guru agama dan pendidikan hakim islam negeri.
3.         Masa Orde baru
Pada masa orde baru pemerintah mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam pendidikan nasional. Berdasarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga dimensi, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1975, Nomor 037/4 1975 dan Nomor 36 tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah ditetapkan bahwa standar pendidikan madrasah sama dengan sekolah umum, ijazahnya mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum dan lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas dan siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Lulusan Madrasah Aliyah dapat melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi umum dan agama.
4.         Masa Sekarang
Era globalisasi dewasa ini dan dimasa datang sedang dan akan mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya, atau pendidikan Islam, termasuk pesantren dan Madrasah khususnya.
Madrasah sebagai institusi pendidikan yang konsen dan inten dalam usaha transformasi nilai- nilai Islam harus dapat menampilkan perannya sebagai counter terhadap imperialisme kultural (cultur imperialism) yang sedang gencar-gencarnya menyerbu dunia timur (masyarakat muslim) khususnya di Indonesia.[9]
D.      Madrasah Ibtidaiyah
Madrasah ibtidaiyah (disingkat MI) adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan Sekolah Dasar, yang pengelolaannya dilakukan oleh Kementerian Agama. Pendidikan madrasah ibtidaiyah ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6.
Kurikulum madrasah Ibtidaiyah sama dengan kurikulum Sekolah Dasar, hanya saja pada MI terdapat porsi lebih banyak mengenai pendidikan agama Islam. Selain mengajarkan mata pelajaran sebagaimana sekolah dasar, juga ditambah dengan pelajaran-pelajaran seperti Alquran Hadits, Aqidah Akhlaq, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab.[10]
E.       Sejarah Perkembangan Madrasah Ibtidaiyah di Indonesia
Perkembangan Madrasah Ibtidaiyah ditandai dengan adanya perhatian pemerintah yang diwujudkan dengan adanya rangkaian dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) sejak masa orde lama yakni PP No 33 tahun 1949 dan PP No 33 tahun 1950, yang sebelumnya didahului dengan dikeluarkan Permenag No 1 Tahun 1946, No 7 tahun 1952, No 2 tahun 1960 dan terakhir No. 3 Tahun 1979 tentang pemberian bantuan kepada madrasah.
Dalam perkembangannya madrasah berlangsung sangat cepat. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat 13.057 Madrasah Ibtidaiyah (MI), pendidikan setingkat sekolah dasar (SD) pada sistem pendidikan umum.[11] Pada masa ini status madrasah ibtidaiyah adalah swasta, kemudian lahir kebijakan  dalam rangka pengembangan madrasah tingkat dasar (Ibtidaiyah), pemerintah (Departemen Agama) mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB) yang menjadi langkah awal dari adanya bantuan dan pembinaan madrasah dalam rangka penyeragaman kurikulum dan sistem penyelenggaraannya, dalam upaya peningkatan mutu madrasah ibtidaiyah. Akan tetapi MBW tidak sesuai dengan harapan. Kemudian Di tahun 1966, pemerintah mendirikan adanya madrasah negeri yang lebih lengkap dan terperinci, dengan perbandingan materi agama 30% dan materi pengetahuan umum 70%. Sistem penyelenggaraan, jenjang dan kurikulum disamakan dengan sekolah umum yang berada dibawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional, yaitu Madrasah Ibtidaiyah Negeri yang merupakan sekolah setingkat Sekolah Dasar Negeri dengan lama belajar 6 tahun.
Madrasah lbtidaiyah Negeri sebagian besar berasal dari madrasah-madrasah yang semula diasuh oleh Pemerintah Daerah Aceh, Lampung dan Surakarta. Sejak tahun 1946 ada 205 Sekolah Rendah Islam yang diasuh oleh Pemerintah Daerah Aceh yang dengan Ketetapan Menteri Agama no. I tahun 1959, pengasuhan dan pemeliharaannya diserahkan kepada Kementerian Agama dan namanya diubah menjadi Sekolah Rakyat Islam (SRI). Kernudian melalui Keputusan Menteri Agama No.104 tahun 1962 diubah namanya menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN).[12]
Sekitar akhir tahun 70-an, pemerintah mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional. Usaha tersebut diwujudkan dengan upaya yang dilakukan pemerintah dengan melakukan upaya memperkuat struktur madrasah, kurikulum dan jenjangnya, sehingga lulusan madrasah dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Kebijakan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga menteri tahun 1974 tentang peningkatan mutu Pendidikan pada madrasah (Maksum, 1999:132). Tiga orang menteri tersebut adalah menteri Agama    A. Mukti Ali dengan Nomor. 6 tahun 1975, Menteri P dan K yang dijabat oleh Syarief Thajeb dengan Nomor. 037/U/1975, dan Menteri dalam negeri yang saat itu dijabat oleh Amir Mahmud dengan Nomor.36 tahun 1975 tanggal 24 maret 1975. SKB tersebut berlaku untuk madrasah dan semua jenjang baik negeri maupun swasta, madrasah di lingkungan pondok pesantren dan di luar pesantren. Dengan adanya keputusan tersebut, maka posisi madrasah setara dengan sekolah-sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah.
Dalam rangka merespon SKB tersebut, maka disusun kurikulum madrasah tahun 1975 dengan perbandingan bobot alokasi waktu 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama.[13]
Secara legal, madrasah sudah terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional sejak di berlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perkembangan madrasah kemudian berlangsung cepat. Di tingkat MI, siswanya mencapai 11 persen dari total siswa tingkat dasar. Di tahun 1999, terdapat 21.454 MI dan sekitar 93,2 persennya diselenggarakan oleh pihak swasta. Tahun 1999 terdapat 9.860 ma-drasah dan sekitar 88,1 persennya merupakan madrasah milik swasta.
Melihat kenyataan tersebut sudah tidak diragukan lagi bahwa Madrasah Ibtidaiyah (MI) memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, Madrasah memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, Madrasah mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Pada dasarnya seseorang sekolah adalah untuk mencari ilmu pengetahuan yang baru, dan cara memperolehnya tersebut salah satu diantaranya adalah dengan bersekolah. Dengan sekolah kita bisa tahu dan menanyakan apa yang belum dan tidak kita ketahui. Seperti dalil berikut ini :
!$tBur $uZù=yör& ÆÏB y7Î=ö6s% žwÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqœR öNÍköŽs9Î) 4 (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ  
Artinya:
“43. dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan[828] jika kamu tidak mengetahui,”
[828] Yakni: orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang Nabi dan kitab kitab.-
Sebagai calon guru Madrasah Ibtidaiyah kita harus siap menghadapi sifat anak-anak didik kita yang suka bertanya. Karena pada dasarnya anak usia Madrasah Ibtidaiyah adalah usia anak yang masih suka bertanya.


[8] Ibid, (26-12-2012).

LOGO MI BAHRUL ULUM

LOGO MI BAHRUL ULUM

Banjari

Banjari

Dokter Kecil

Dokter Kecil

Upacara Siswa

Upacara Siswa

Kegiatan Siswa

Kegiatan Siswa

Kegiatan Siswa

Kegiatan Siswa

Guru MI Pandan Krajan

Guru MI Pandan Krajan

Selamat Bergabung Bersama Kami

Selamat Bergabung Bersama Kami

Akreditasi 2017

Akreditasi 2017

Penghargaan Guru Teladan

Penghargaan Guru Teladan

Penghargaan Kepala MI

Penghargaan Kepala MI

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget